Ada yang menarik pada ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2023 yang dihelat pada 2 – 5 Agustus lalu. Festival yang dibangun untuk merayakan diversitas, talenta, dan kreativitas industrinya melalui penayangan film-film terpilih dari seluruh negara ASEAN itu tak hanya semarak oleh film-film fiksi saja, tetapi juga dokumenter.
Pada festival selama tiga hari ini selain film 34 terpilih dari 120 submisi kolektif, digelar juga diskusi panel serta talkshow ‘Bridging ASEAN’s Documentary Film Maker’. Acara terakhir di atas adalah program yang digagas oleh Daniel Rudi Haryanto (sutradara film dokumenter Indonesia) dengan dukungan Philip Cheah dan Uwei bin Haji Saari (Ketua Juri AIFFA 2023).
Sesi ini turut menghadirkan film dokumenter karya Dokumenteris Aceh. Adapun film-film dokumenter tersebut adalah Minor (2019) karya Vena Besta Klaudina dan Takziyatun Nufus, Pakaianku Tinggal Kenangan (2013) karya Maria Ulfa dan Muhammad Rizki, dan Garamku Tak Asin Lagi (2011) karya Jamaluddin Phonna.
ASEAN Documentary Matters
Turut tampil pada acara tersebut, Daniel Rudi menyampaikan peranan penting film dokumenter dalam geopolitik dan potensi lewat kesamaan rumpun wilayah Semenanjung Malaka yang selama ini luput dilihat banyak orang, yang juga melibatkan Aceh dan Medan sebagai salah satu bagiannya.
Sejatinya gagasan penyelenggaraan Asean Documentary Matters bermula dari pertemuan Rudi dengan U-Wei Haji Saari di tahun 2017 pada acara Asia Pacific Screen Lab. Di situ mereka banyak berdiskusi mengenai potensi perfilman di Asia Tenggara.
Pada 2019 U-Wei sebagai ketua Dewan Juri mengundang Rudi untuk menjadi dewan juri AIFFA bersama tiga anggota juri dari Asia Tenggara yakni Amable "Tikoy" Aguiluz (sutradara, produser, penulis, sinematografer, dan pendiri Cinemanila Internasional Film Festival asal Filipina), Mattie Do Laos (sutradara perempuan pertama asal Laos).
Daniel Rudi Haryanto |
Saat itu U-Wei memperkenalkan Rudi dengan Ibu Livan Tajang, direktur AIFFA, untuk menindaklanjuti hal-hal yang pernah mereka diskusikan sebelumnya.
“Sejak itulah mengalir diskusi mengenai pengembangan AIFFA untuk menambah program kompetisi dan awards serta market film dokumenter di kawasan ASEAN,” papar Rudi.
Selanjutnya Rudi berdiskusi dengan Philip Cheah, U-Wei, dan ibu Livan Tajang untuk menemukan solusi menciptakan dukungan kepada potensi festival film di kawasan Selat Malaka, Laut China Selatan, dan Perbatasan Timor Leste, serta Papua. Saya belajar dari berbagai festival film seperti Busan dan DMZ, bahwasanya festival film mampu menjadi penguatan geo politik kebudayaan frontier (perbatasan)
“Ujungnya, tahun ini kita memfasilitasi Aceh Doc untuk hadir dan mempresentasikan potensi film dokumenter di Aceh dan Sumatera sebagai bagian penting kawasan internasional Selat Malaka,” imbuh Rudi.
Rudi menambahkan, melalui AIFFA 2023 tengah dipersiapkan agenda-agenda ke depan untuk 2025 dengan cakupan lebih luas yakni Asia Pasifik.