Film Dokumenter Litany For The Goddess (Kidung Bidadari) karya Ensadi Joko
Santoso berhasil menembus London Film Festival. Sebelumnya film yang mengangkat
kearifan lokal Suku Baduy yang hidup di kampung Kenekes ini telah berhasil
menembus Toronto Alternative Film Festival. Film ini juga sudah menjajaki
beberapa festival film internasional yang lain dan mendapat tanggapan bagus,
tetapi merebaknya Pandemi Covid-19 menunda sementara prosesnya.
Redaksi ADN mewawancarai Ensadi Joko Santoso seputar garapannya
tersebut. Berikut sekilas perbincangan itu:
"Film Litany For The Goddess sesungguhnya merupakan obsesi lama saya. Gagasan
untuk mengangkat sosok yang sangat dikenal di kalangan Sunda Baduy dan sangat
menginspirasi itu sudah terbersit di benak saya lebih dari 15 tahun lalu.
Belakangan, ketika saya membuat tugas akhir untuk S1 saya di IKJ terbersit
kembalilah gagasan ini. Saya yang berstudi di jurusan film dengan mengambil mayor kamera, memutuskan
untuk mengangkat sosok dewi yang di masyarakat Baduy sangat menginspirasi kehidupan
keseharian mereka. Bagaimana hingga era modern ini sekelompok masyarakat adat masih
mencintai sosok dewi yang tercermin dalam tata cara memperlakukan padi untuk sejak
pemuliaan benih, menanam, merawat, hingga memanen dan menyimpannya di lumbung. Dewi
tersebut adalah Nyai Pohaci Sanghyang Asri. Di Jawa dan Bali ia dikenal dengan
sebutan Dewi Sri.
Perkenalan saya dengan tata kehidupan ini bermula dari kedekatan saya
dengan masyarakat Baduy di Kampung Kenekes. Lebih dari 15 tahun lalu saya
sering berkunjung ke kampung itu dan menjadi sangat akrab dengan warga di situ.
Jalinan silaturahmi kami bahkan sampai pada tahap saling mengunjungi. Setiap
tahun pada saat-saat tertentu saya berkunjung dan menginap di kampung itu,
sebaliknya pada waktu-waktu lainnya beberapa orang dari kampung itu bertandang ke
kediaman saya di Jakarta. Jadi ketika saya
merekam kehidupan sehari-hari mereka, tidak menjadi masalah bagi mereka.
Meski begitu, sebagai warga suku yang sangat menghormati adat-istiadatnya,
mereka menetapkan batas-batas sampai di mana dan untuk hal apa saja saya boleh
merekam. Karena saya tahu mereka sangat disiplin menjaga warisan nenek moyangnya,
saya pun menghormati mereka dengan tidak melanggar apa yang mereka larang untuk
saya kerjakan. Saya tak mau menyalahgunakan kepercayaan mereka dengan diam-diam
mengambil merekam gambar atau suara meskipun hal itu bisa saya lakukan. Penghormatan
macam ini merupakan nilai tersendiri bagi seorang dokumenteris.
Jika pada Suku Jawa dan Bali sosok Dewi Padi digambarkan secara visual dengan
sosok perempuan yang sangat cantik dengan beragam atributnya, di Baduy sosok
tersebut tidak digambarkan dalam sosok fisik. Nah, sebagai pembuat film untuk
tugas akhir dengan mayor kamera, saya harus menggambarkan kecantikan dan kebaikan
Nyai Pohaci yang hidup dalam imajinasi masyarakat Baduy dengan bahasa gambar. Cukup
lama saya berpikir apa wujud fisik yang bisa mewakili kecantikan dan kebaikan sang
dewi itu sampai akhirnya saya memilih bulir-bulir padi dan kehidupan masyarakat
setempat berkait itu untuk menggambarkannya.
Dalam film ini saya menggambarkan bakti dan perjalanan jiwa yang luar
biasa dari masyarakat Kampun Kenekes. Bukan panennya yang luar biasa tetapi
cara mereka menghormati dari awal tanam sampai panen dan pengolahan. Dalam
rangkaian proses panjang tersebut terpancar bagaimana masyarakat setempat
menghormati Nyai Pohaci sebagai sosok ini memberi kehidupan.
Yang menarik, tidak hanya dalam urusan pengolahan padi, bahkan
arsitektur mereka pun menggambarkan sosokk Nyi Pohaci yang mereka cintai.
Tiangnya merupakan cerminan dari tangan dan kaki, atap ijuk merupakan cerminan rambut,
dan seterusnya. Tak heran mereka menjaga dan merawat rumah dan lingkungan mereka
dengan sangat baik. Mereka seperti menjaga
tubuh dan lingkungan Nyi Pohaci agar sang pujaan tetap nyaman dan senang. Jika Sang
Dewi senang pancaran vibrasinya akan membuat hidup mereka nyaman dan tenang.
Problem utama dalam produksi ini adalah pengambilan gambar dan suara karena
tidak semuanya boleh untuk direkam, semisal beberapa ritual dan mantra-mantra.
Padahal saya tahu mantra-mantra itu semacam puisi yang sangat indah
menggambarkan Dewi Pohaci yang sangat cantik. Kendala lainnya, adalah saya tidak bisa membuat time line yang akurat karena saya berhubungan dengan masyarakat
tradisi yang sangat disiplin menjaga tradisinya. Jadi jadwal syuting benar-benar
harus menyesuaikan dengan ritme kehidupan mereka yang sesungguhnya.
Kearifan yang dapat dipetik dari film ini adalah pelajaran tentang ketahanan
pangan. Dari masyarakat Kenekes kita bisa belajar mengenai cara hidup yang tidak
berlimpah-ruah, tapi selalu cukup. Dari mereka kita dapat belajar tentang bagaimana
menyelaraskan pola panen dan kebutuhan mereka untuk makan. Karena disiplin, di
situ ada banyak lumbung yang tak pernah tersentuh karena sebelum lumbung yang
satu habis, mereka sudah panen lagi.
Kepada panitia London Film Festival yang mewawancarai saya, saya
katakan bahwa bagi kita setiap suku di negari ini adalah guru bangsa. Setiap
suku menjadi guru bagi suku lainnya dan
pelajaran setiap suku itu dicerap serta diinternalisasi oleh suku lainnya
berdasar situasi dan kondisi masing-masing.
Ada beberapa festival film internasional yang telah memberi tanggapan sangat
baik untuk film ini. Tapi pandemi covid-19 memaksa untuk melakukan penundaan
bagi proses selanjutnya.
Kepada Pemerintah dan siapa saja yang berkompeten, saya menyerukan
pentingnya meningkatkan kenusantaraan pada generasi baru melalui produksi film-film
dokumenter yang mengangkat kearifan lokal. Melalui film-film tersebut kita
memberi pelajaran visual kepada generasi baru tentang suku-suku yang ada di Nusantara
dan kebajikan tradisional yang terkandung dalam setiap laku hidup dan
adat-istiadatnya. Betapa pun, telah
terpatri dalam lambang kebangsaan kita kalimat “Bhineka Tunggal Ika” yang
memberi tuntunan bahwa kita adalah sebuah kesatuan dalam keberagaman. Dalam hal
ini sumbangan film dokumenter menegaskan kenusantaraan bahwa setiap suku adalah
guru bangsa. Dengan begitu film dokumenter turut mendidik kebangsaan secara
aoudi visual."[]
Litany For The Goddess
Sutradara : Ensadi Joko Santoso
Penulis Naskah : Ensadi Joko Santoso
Produser : Ensadi Joko Santoso
Judul asli: KIDUNG BIDADARI
Tipe Film: Documenter Pendek
Durasi: 15 menit
Bahasa : Indonesia
Format: digital
Aspect Ratio: 16:9
Warna Film: Berwarna
Pewawancara: Agung Bawantara
Sumber Foto: Asian Film Festival